Rabu, 16 Desember 2015

cerpen sesaat karya Egi Purnama (egy rumasta)

Sesaat
(Egi purnama)
Lampu-lampu kota yang berjejer rapi di sepanjang jalan telah menyala, ditambah sinar dari lampu berbagai kendaraan yang berlalu-lalang menambah semaraknya kota. Ratusan orang hilir mudik, puluhan pedagang menawarkan dagangannya. Beginilah potret kehiduan kota jakarta yang ramai dan padat disertai berbagai argumen antara kesenjangan dan harapan.
   Tak terasa waktu menunjukan pukul 7 malam, saatnya Aku pulang menuju kontrakan kecil yang hanya terdapat satu ruang tamu, dua kamar tidur, satu dapur, dan satu kamar mandi. Aku tinggal bersama seorang pangeran kecil kebanggaanku, hasil buah cintaku  yang kami beri nama Diandra Eki Prayoga. Aku terus berjalan menuju halte busway Rumah Sakit Harapan Kita.
Sambil menunggu  Busway tujuan Grogol-PGC datang, kusandarkan tubuhku di salah satu dinding halte, setidaknya cara ini bisa sedikit mengurangi beban kaki yang sudah lelah berjalan. Tiba-tiba mataku terpaku pada  seorang  wanita berusia sekitar  25 tahun. Tingginya  sekitar 160 cm, berambut panjang, berparas cantik. Dia berdiri gelisah di depan pintu masuk halte busway.
“ Mba kenapa ada yang bisa saya bantu ?”
Ini Mas, kartu e-ticketing busway saya terjatuh entah di mana, aduh, bagaimana ya…”
Ya sudah,  pakai kartu saya saja,
Jangan repot-repot, Mas.
Santai sajalah, sesama manusia kita harus saling tolong menolong.
Karena tidak ada pilihan lain, wanita itu akhirnya menggunakan kartuku.
“Terima kasih, Mas. Saya  Wahmi Swantika” ujarnya sambil mengulurkan tangannya..
“Saya Eki Dwi Prasetyo, panggil saja Eki” aku menyambut uluran tangannya, terasa lembut dan nyaman saat berjabat tangan dengannya
   Aku tinggal di Jalan Manunggal jaya, Komplek Kodam Jatiwaingin, Kalimalang. Nanti Aku turun di halte Cawang Uki, lanjut naik mikrolet. Kapan-kapan main ke rumah. Mas pulang kemana ?
“Di Pancoran. Masih  ngontrak.  di Pancoran Barat VII di depan SDN Pancoran Pagi 2, Aku tinggal bersama anakku yang masih duduk di bangku kelas 2 SD baru berusia 7 tahun.
Sepajang jalan kami berdua ngobrol ke sana ke mari, menceritaka berbagai pengalaman  dan kehidupan masing-masing sampai saling bertukar nomor handphone. Tanpa terasa busway sudah sampai di halte Pancoran Barat, Akupun segera turun dan berpamitan kepada Wahmi swantika. Aku terus berjalan memasuki gang menuju rumah kontrakanku.
Assalamualaikum!” Aku mengetuk pintu rumah pemilik kontrakan yang aku tinggali.
Walaikumsalam Ayah !” Diandra muncul di balik pintu sambil tersenyum lucu menunjukkan deretan gigi serinya yang ompong.
Setiap hari Diandra memang aku titipkan pada keluarga pemilik kontrakan. Kebetulan mereka juga memiliki anak seusia Diandra. Sekalian sebagai teman bermain, begitu kata mereka.
Lagi apa jagoan kecil kebanggaan Ayah? Tidak lupa makan dan belajar, kan?  Ini Ayah bawain martabak kesukaan kamu.” Aku menyerahkan bungkusan martabak pada Diandra dan juga pada anak pemilik kontrakan.
Tanpa terasa, sudah hampir dua tahun aku hanya hidup berdua dengan Diandra. Walaupun aku selalu berusaha membahagiakannya, tetap saja aku tak mampu membuatnya sempurna. Diandra pasti membutuhkan kasih sayang seorang ibu.
Waktu baru menunjukan pukul 6 pagi ketika dering teleponku menunjukkan ada panggilan masuk.    Hallo, selamat pagi ! Ini dengan Mas Eki ?” suara halus di seberang sana.
   “Ya, Saya sendiri ! Ini dengan siapa, ya ?” Aku tidak melihat ada nama yang muncul di layar handphoneku.
   Aku Mas Wahmi, masing ingatkan ?
   Oh, Wahmi, Iya…ya. Maaf sepertinya kemarin saya lupa menyimpan nomormu.”
   Mas hari ini sibuk ga ?
   “Tidak.Inikan hari minggu. Ada apa?
“Kebetulan aku sedang berada di daerah Pancoran, mengantarkan adik. Kalau Mas tidak keberatan aku ingin mampir ke tempat, Mas.”
“Silakan, silakan…Saya tunggu, ya…”
Aku bergegas membangunkan Diandra dan  menyuruhnya mandi, sementara aku sendiri menyiapkan sarapan untuk kami berdua.  Tiba-tiba aku ingin memberi kesan yang baik pada calon tamuku ini. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pelan di pindu.
   “Mana adikmu?” Aku tak melihat ada orang lain selain dirinya.
“Dia masih di rumah temannya mengerjakan tugas sekolah.” Wahmi menjelaskan sambil masuk.
“Mana anaknya, Mas? Diandra, ya namanya Diandra, kan?” Aku hanya mengangguk mengiyakan. “Ini aku bawakan roti bakar untuknya,” lanjutnya.
Diandra yang sudah berdiri di belakangku menerima oleh-oleh yang dibawakan oleh Wahmi. Setelah mengucapkan terima kasih dengan malu-malu, dia pun minta izin untuk bermain ke rumah pemilik kontrakan.
“Beginilah keadaanku dan Diandra”
“Maaf, Mas. Sebenarnya apa yang membuat Mas berpisah dengan istri Mas. Apalagi sudah ada Diandra di antara kalian?”
“Panjang ceritanya, Mi. ringkasnya begini…”
Entah apa penyebabnya, aku begitu percaya menceritakan semua kisah hidupku pada Wahmi. Bahkan kisah perceraian yang menyakitkan itu.
Dian Reshyani, mama Diandra, yang meninggalkan aku dan anaknya sendiri karena tidak sanggup hidup miskin. Karena perusahaan tempat aku bekerja mengalami krisis, aku dan kawan-kawanku terpaksa memilih berhenti. Situasi ekonomi yang sedang buruk membuat aku tidak segera mendapatkan tempat kerja yang baru. Keadaan terus memburuk. sampai-sampai  rumah, harta kami yang paling berharga, kami jual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dian ternyata tidak cukup tabah menghadapi semua itu. Dia memutuskan meninggalkan kami berdua.
Obrolan kami baru terhenti saat adik Wahmi menghubunginya dan minta dijemput. Entah mengapa begitu berat rasanya berpisah dengan Wahmi. Dia seperti angin segar yang menyejukkan dahagaku akan kehadiran sosok wanita di rumah ini. Mungkinkah hal yang sama dirasakan oleh Wahmi? Pikiran konyol ini coba kutepis. Mana mungkin dia tertarik pada seorang duda beranak satu yang baru satu hari dikenalnya.
. Hari sudah beranjak malam,  Diandra sudah tertidur lelap  di sampingku. Aku masih belum bisa memejamkan mata. Bayangan wajah Wahmi tak bisa kuhapus dari pikiranku.
Handphoneku kembali bordering. Saat melihat nama Wahmi yang muncul, aku segera mengangkatnya.
   Hallo…Ini dengan Mas Eki ?” Suara asing yang terdengar.
   Ia,…ini… ini saya sendiri, ini Ami bukan? ada apa telpon malam-malam?”
Bukan.  Saya  mamanya Ami. Saya mau mengabarkan ,  Ami kecelakaan…Di saat-saat akhirnya, saya mendengar dia menyebut nama Eki, itu sebabnya saya mencari nama Nak Eki di Hape-nya dan mengabari, Nak Eki”
“Tapi, Bu. Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Maaf, Nak. Kami terlambat mengabarimu. Wahmi sudah tak ada.”

Tak ada kata-kata lagi yang mampu kuucapkan. Sebuah harapan yang baru saja tumbuh kini dengan begitu saja tercerabut dengan akar-akarnya. Aku terhempas…

48 komentar:

  1. Tema:seorang duda beranak satu yang menaruh hati terhadap seorang wanita yg ber umur 25 tahun tinggi 160 cm dan berparas cantik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tokoh:Wahmi Swantika
      Eki Dwi Prasetyo
      Diandra Eki Prayoga

      Hapus
    2. Alur: alur maju,disaat mulai berbunga2 dan pada endingnya menyedihkan

      Hapus
    3. Seting tempat waktu suasana : Lampu-lampu kota yang berjejer rapi di sepanjang jalan telah menyala, ditambah sinar dari lampu berbagai kendaraan yang berlalu-lalang menambah semaraknya kota. Ratusan orang hilir mudik, puluhan pedagang menawarkan dagangannya. Beginilah potret kehiduan kota jakarta yang ramai dan padat disertai berbagai argumen antara kesenjangan dan harapan.
      Tak terasa waktu menunjukan pukul 7 malam

      Hapus
    4. Gaya bahasa:Diandra yang sudah berdiri di belakangku menerima oleh-oleh yang dibawakan oleh Wahmi. Setelah mengucapkan terima kasih dengan malu-malu, dia pun minta izin untuk bermain ke rumah pemilik kontrakan.

      Hapus
    5. Gaya bahasa:Tak ada kata-kata lagi yang mampu kuucapkan. Sebuah harapan yang baru saja tumbuh kini dengan begitu saja tercerabut dengan akar-akarnya. Aku terhempas…

      Hapus
    6. Amanat:jangan gampang menaruh swbuah harapan terhadap sesuatu yang baru saja di kenal jika tak ingin kamu menyesal saat kemudian hari

      Hapus
    7. Nilai sosial:Mba kenapa ada yang bisa saya bantu ?”
      “Ini Mas, kartu e-ticketing busway saya terjatuh entah di mana, aduh, bagaimana ya…”
      “Ya sudah, pakai kartu saya saja

      Hapus
    8. Nilai ekonomi:“Di Pancoran. Masih ngontrak. di Pancoran Barat VII di depan SDN Pancoran Pagi 2, Aku tinggal bersama anakku yang masih duduk di bangku kelas 2 SD baru berusia 7 tahun.”

      Dian Reshyani, mama Diandra, yang meninggalkan aku dan anaknya sendiri karena tidak sanggup hidup miskin. Karena perusahaan tempat aku bekerja mengalami krisis, aku dan kawan-kawanku terpaksa memilih berhenti. Situasi ekonomi yang sedang buruk membuat aku tidak segera mendapatkan tempat kerja yang baru. Keadaan terus memburuk. sampai-sampai rumah, harta kami yang paling berharga, kami jual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dian ternyata tidak cukup tabah menghadapi semua itu. Dia memutuskan meninggalkan kami berdua.

      Hapus
  2. Tema:seorang duda beranak satu yang menaruh hati terhadap seorang wanita yg ber umur 25 tahun tinggi 160 cm dan berparas cantik

    BalasHapus
  3. Tokoh:Wahmi Swantika
    Eki Dwi Prasetyo
    Diandra Eki Prayoga

    BalasHapus
  4. Alur: alur maju,disaat mulai berbunga2 dan pada endingnya menyedihkan

    BalasHapus
  5. Nilai ekonomi:“Di Pancoran. Masih ngontrak. di Pancoran Barat VII di depan SDN Pancoran Pagi 2, Aku tinggal bersama anakku yang masih duduk di bangku kelas 2 SD baru berusia 7 tahun.”

    Dian Reshyani, mama Diandra, yang meninggalkan aku dan anaknya sendiri karena tidak sanggup hidup miskin. Karena perusahaan tempat aku bekerja mengalami krisis, aku dan kawan-kawanku terpaksa memilih berhenti. Situasi ekonomi yang sedang buruk membuat aku tidak segera mendapatkan tempat kerja yang baru. Keadaan terus memburuk. sampai-sampai rumah, harta kami yang paling berharga, kami jual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dian ternyata tidak cukup tabah menghadapi semua itu. Dia memutuskan meninggalkan kami berdua.

    BalasHapus
  6. Seting tempat waktu suasana : Lampu-lampu kota yang berjejer rapi di sepanjang jalan telah menyala, ditambah sinar dari lampu berbagai kendaraan yang berlalu-lalang menambah semaraknya kota. Ratusan orang hilir mudik, puluhan pedagang menawarkan dagangannya. Beginilah potret kehiduan kota jakarta yang ramai dan padat disertai berbagai argumen antara kesenjangan dan harapan.
    Tak terasa waktu menunjukan pukul 7 malam

    BalasHapus
  7. Gaya bahasa:Diandra yang sudah berdiri di belakangku menerima oleh-oleh yang dibawakan oleh Wahmi. Setelah mengucapkan terima kasih dengan malu-malu, dia pun minta izin untuk bermain ke rumah pemilik kontrakan.

    BalasHapus
  8. Gaya bahasa:Tak ada kata-kata lagi yang mampu kuucapkan. Sebuah harapan yang baru saja tumbuh kini dengan begitu saja tercerabut dengan akar-akarnya. Aku terhempas…

    BalasHapus
  9. Amanat:jangan gampang menaruh swbuah harapan terhadap sesuatu yang baru saja di kenal jika tak ingin kamu menyesal saat kemudian hari

    BalasHapus
  10. Nilai sosial:Mba kenapa ada yang bisa saya bantu ?”
    “Ini Mas, kartu e-ticketing busway saya terjatuh entah di mana, aduh, bagaimana ya…”
    “Ya sudah, pakai kartu saya saja

    BalasHapus
  11. Nilai ekonomi:“Di Pancoran. Masih ngontrak. di Pancoran Barat VII di depan SDN Pancoran Pagi 2, Aku tinggal bersama anakku yang masih duduk di bangku kelas 2 SD baru berusia 7 tahun.”

    Dian Reshyani, mama Diandra, yang meninggalkan aku dan anaknya sendiri karena tidak sanggup hidup miskin. Karena perusahaan tempat aku bekerja mengalami krisis, aku dan kawan-kawanku terpaksa memilih berhenti. Situasi ekonomi yang sedang buruk membuat aku tidak segera mendapatkan tempat kerja yang baru. Keadaan terus memburuk. sampai-sampai rumah, harta kami yang paling berharga, kami jual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dian ternyata tidak cukup tabah menghadapi semua itu. Dia memutuskan meninggalkan kami berdua.

    BalasHapus
  12. Tema:seorang duda beranak satu yang menaruh hati terhadap seorang wanita yg ber umur 25 tahun tinggi 160 cm dan berparas cantik

    BalasHapus
  13. Tokoh:Wahmi Swantika
    Eki Dwi Prasetyo
    Diandra Eki Prayoga

    BalasHapus
  14. Alur: alur maju,disaat mulai berbunga2 dan pada endingnya menyedihkan

    BalasHapus
  15. Seting tempat waktu suasana : Lampu-lampu kota yang berjejer rapi di sepanjang jalan telah menyala, ditambah sinar dari lampu berbagai kendaraan yang berlalu-lalang menambah semaraknya kota. Ratusan orang hilir mudik, puluhan pedagang menawarkan dagangannya. Beginilah potret kehiduan kota jakarta yang ramai dan padat disertai berbagai argumen antara kesenjangan dan harapan.
    Tak terasa waktu menunjukan pukul 7 malam

    BalasHapus
  16. Gaya bahasa:Diandra yang sudah berdiri di belakangku menerima oleh-oleh yang dibawakan oleh Wahmi. Setelah mengucapkan terima kasih dengan malu-malu, dia pun minta izin untuk bermain ke rumah pemilik kontrakan.

    BalasHapus
  17. Gaya bahasa:Tak ada kata-kata lagi yang mampu kuucapkan. Sebuah harapan yang baru saja tumbuh kini dengan begitu saja tercerabut dengan akar-akarnya. Aku terhempas…

    BalasHapus
  18. Amanat:jangan gampang menaruh swbuah harapan terhadap sesuatu yang baru saja di kenal jika tak ingin kamu menyesal saat kemudian hari

    BalasHapus
  19. Nilai sosial:Mba kenapa ada yang bisa saya bantu ?”
    “Ini Mas, kartu e-ticketing busway saya terjatuh entah di mana, aduh, bagaimana ya…”
    “Ya sudah, pakai kartu saya saja

    BalasHapus
  20. Nilai ekonomi:“Di Pancoran. Masih ngontrak. di Pancoran Barat VII di depan SDN Pancoran Pagi 2, Aku tinggal bersama anakku yang masih duduk di bangku kelas 2 SD baru berusia 7 tahun.”

    Dian Reshyani, mama Diandra, yang meninggalkan aku dan anaknya sendiri karena tidak sanggup hidup miskin. Karena perusahaan tempat aku bekerja mengalami krisis, aku dan kawan-kawanku terpaksa memilih berhenti. Situasi ekonomi yang sedang buruk membuat aku tidak segera mendapatkan tempat kerja yang baru. Keadaan terus memburuk. sampai-sampai rumah, harta kami yang paling berharga, kami jual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dian ternyata tidak cukup tabah menghadapi semua itu. Dia memutuskan meninggalkan kami berdua.

    BalasHapus
  21. Tema:seorang duda beranak satu yang menaruh hati terhadap seorang wanita yg ber umur 25 tahun tinggi 160 cm dan berparas cantik

    BalasHapus
  22. Tokoh:Wahmi Swantika
    Eki Dwi Prasetyo
    Diandra Eki Prayoga

    BalasHapus
  23. Alur: alur maju,disaat mulai berbunga2 dan pada endingnya menyedihkan

    BalasHapus
  24. Seting tempat waktu suasana : Lampu-lampu kota yang berjejer rapi di sepanjang jalan telah menyala, ditambah sinar dari lampu berbagai kendaraan yang berlalu-lalang menambah semaraknya kota. Ratusan orang hilir mudik, puluhan pedagang menawarkan dagangannya. Beginilah potret kehiduan kota jakarta yang ramai dan padat disertai berbagai argumen antara kesenjangan dan harapan.
    Tak terasa waktu menunjukan pukul 7 malam

    BalasHapus
  25. Gaya bahasa:Diandra yang sudah berdiri di belakangku menerima oleh-oleh yang dibawakan oleh Wahmi. Setelah mengucapkan terima kasih dengan malu-malu, dia pun minta izin untuk bermain ke rumah pemilik kontrakan.

    BalasHapus
  26. Gaya bahasa:Tak ada kata-kata lagi yang mampu kuucapkan. Sebuah harapan yang baru saja tumbuh kini dengan begitu saja tercerabut dengan akar-akarnya. Aku terhempas…

    BalasHapus
  27. Amanat:jangan gampang menaruh swbuah harapan terhadap sesuatu yang baru saja di kenal jika tak ingin kamu menyesal saat kemudian hari

    BalasHapus
  28. Nilai sosial:Mba kenapa ada yang bisa saya bantu ?”
    “Ini Mas, kartu e-ticketing busway saya terjatuh entah di mana, aduh, bagaimana ya…”
    “Ya sudah, pakai kartu saya saja

    BalasHapus
  29. Nilai ekonomi:“Di Pancoran. Masih ngontrak. di Pancoran Barat VII di depan SDN Pancoran Pagi 2, Aku tinggal bersama anakku yang masih duduk di bangku kelas 2 SD baru berusia 7 tahun.”

    Dian Reshyani, mama Diandra, yang meninggalkan aku dan anaknya sendiri karena tidak sanggup hidup miskin. Karena perusahaan tempat aku bekerja mengalami krisis, aku dan kawan-kawanku terpaksa memilih berhenti. Situasi ekonomi yang sedang buruk membuat aku tidak segera mendapatkan tempat kerja yang baru. Keadaan terus memburuk. sampai-sampai rumah, harta kami yang paling berharga, kami jual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dian ternyata tidak cukup tabah menghadapi semua itu. Dia memutuskan meninggalkan kami berdua.

    BalasHapus
  30. Tema:seorang duda beranak satu yang menaruh hati terhadap seorang wanita yg ber umur 25 tahun tinggi 160 cm dan berparas cantik

    BalasHapus
  31. Tokoh:Wahmi Swantika
    Eki Dwi Prasetyo
    Diandra Eki Prayoga

    BalasHapus
  32. Alur: alur maju,disaat mulai berbunga2 dan pada endingnya menyedihkan

    BalasHapus
  33. Seting tempat waktu suasana : Lampu-lampu kota yang berjejer rapi di sepanjang jalan telah menyala, ditambah sinar dari lampu berbagai kendaraan yang berlalu-lalang menambah semaraknya kota. Ratusan orang hilir mudik, puluhan pedagang menawarkan dagangannya. Beginilah potret kehiduan kota jakarta yang ramai dan padat disertai berbagai argumen antara kesenjangan dan harapan.
    Tak terasa waktu menunjukan pukul 7 malam

    BalasHapus
  34. Gaya bahasa:Diandra yang sudah berdiri di belakangku menerima oleh-oleh yang dibawakan oleh Wahmi. Setelah mengucapkan terima kasih dengan malu-malu, dia pun minta izin untuk bermain ke rumah pemilik kontrakan.

    BalasHapus
  35. Gaya bahasa:Tak ada kata-kata lagi yang mampu kuucapkan. Sebuah harapan yang baru saja tumbuh kini dengan begitu saja tercerabut dengan akar-akarnya. Aku terhempas…

    BalasHapus
  36. Amanat:jangan gampang menaruh swbuah harapan terhadap sesuatu yang baru saja di kenal jika tak ingin kamu menyesal saat kemudian hari

    BalasHapus
  37. Nilai sosial:Mba kenapa ada yang bisa saya bantu ?”
    “Ini Mas, kartu e-ticketing busway saya terjatuh entah di mana, aduh, bagaimana ya…”
    “Ya sudah, pakai kartu saya saja

    BalasHapus
  38. Nilai ekonomi:“Di Pancoran. Masih ngontrak. di Pancoran Barat VII di depan SDN Pancoran Pagi 2, Aku tinggal bersama anakku yang masih duduk di bangku kelas 2 SD baru berusia 7 tahun.”

    Dian Reshyani, mama Diandra, yang meninggalkan aku dan anaknya sendiri karena tidak sanggup hidup miskin. Karena perusahaan tempat aku bekerja mengalami krisis, aku dan kawan-kawanku terpaksa memilih berhenti. Situasi ekonomi yang sedang buruk membuat aku tidak segera mendapatkan tempat kerja yang baru. Keadaan terus memburuk. sampai-sampai rumah, harta kami yang paling berharga, kami jual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dian ternyata tidak cukup tabah menghadapi semua itu. Dia memutuskan meninggalkan kami berdua.

    BalasHapus