Sesaat
(Egi purnama)
Lampu-lampu
kota yang berjejer rapi di sepanjang jalan telah
menyala, ditambah
sinar dari
lampu berbagai kendaraan yang berlalu-lalang menambah semaraknya kota. Ratusan orang hilir
mudik, puluhan pedagang menawarkan dagangannya. Beginilah potret kehiduan kota
jakarta yang ramai dan padat disertai berbagai argumen antara kesenjangan dan
harapan.
Tak terasa waktu menunjukan pukul 7 malam,
saatnya Aku pulang menuju kontrakan kecil yang hanya terdapat satu ruang tamu,
dua kamar tidur, satu dapur, dan satu kamar mandi. Aku tinggal bersama seorang pangeran kecil
kebanggaanku,
hasil buah cintaku yang kami beri nama Diandra Eki Prayoga. Aku terus
berjalan menuju halte busway
Rumah Sakit Harapan Kita.
Sambil menunggu Busway tujuan Grogol-PGC datang,
kusandarkan tubuhku di salah satu dinding halte, setidaknya cara ini bisa
sedikit mengurangi beban kaki yang sudah lelah berjalan. Tiba-tiba mataku
terpaku pada seorang wanita berusia sekitar 25 tahun.
Tingginya sekitar 160 cm, berambut panjang, berparas
cantik. Dia berdiri gelisah di depan pintu masuk halte busway.
“ Mba kenapa
ada yang bisa saya bantu ?”
“Ini
Mas, kartu e-ticketing busway saya terjatuh entah di mana, aduh, bagaimana ya…”
“Ya sudah, pakai kartu saya saja, “
“Jangan
repot-repot,
Mas.”
“Santai
sajalah, sesama manusia kita harus saling tolong
menolong.”
Karena tidak ada pilihan lain, wanita itu akhirnya menggunakan kartuku.
“Terima kasih, Mas. Saya Wahmi Swantika” ujarnya sambil mengulurkan
tangannya..
“Saya
Eki Dwi Prasetyo, panggil saja Eki” aku menyambut uluran tangannya, terasa lembut dan nyaman
saat berjabat tangan dengannya
“Aku
tinggal di Jalan
Manunggal jaya, Komplek Kodam Jatiwaingin, Kalimalang. Nanti Aku turun di halte
Cawang Uki, lanjut naik mikrolet. Kapan-kapan main ke rumah. Mas pulang kemana ?”
“Di
Pancoran. Masih ngontrak. di Pancoran Barat VII di depan SDN Pancoran
Pagi 2, Aku tinggal bersama anakku yang masih duduk di bangku kelas 2 SD baru
berusia 7 tahun.”
Sepajang jalan kami berdua ngobrol ke sana ke mari, menceritaka berbagai
pengalaman dan kehidupan masing-masing
sampai saling bertukar nomor handphone. Tanpa terasa busway
sudah sampai di halte Pancoran Barat, Akupun segera turun dan berpamitan kepada
Wahmi swantika. Aku terus berjalan memasuki gang menuju rumah kontrakanku.
“Assalamualaikum!” Aku
mengetuk pintu rumah pemilik kontrakan yang aku tinggali.
“Walaikumsalam
Ayah !” Diandra muncul di balik pintu sambil tersenyum lucu menunjukkan
deretan gigi serinya yang ompong.
Setiap hari Diandra memang aku titipkan pada keluarga pemilik kontrakan.
Kebetulan mereka juga memiliki anak seusia Diandra. Sekalian sebagai teman
bermain, begitu kata mereka.
“Lagi
apa jagoan kecil kebanggaan Ayah?
Tidak lupa
makan dan belajar, kan? Ini Ayah bawain martabak kesukaan kamu.” Aku
menyerahkan bungkusan martabak pada Diandra dan juga pada anak pemilik
kontrakan.
Tanpa terasa, sudah hampir dua tahun aku hanya hidup berdua dengan
Diandra. Walaupun aku selalu berusaha membahagiakannya, tetap saja aku tak
mampu membuatnya sempurna. Diandra pasti membutuhkan kasih sayang seorang ibu.
Waktu
baru menunjukan
pukul 6 pagi ketika dering teleponku menunjukkan ada panggilan masuk. “Hallo,
selamat pagi ! Ini dengan Mas Eki ?” suara halus di seberang sana.
“Ya,
Saya sendiri ! Ini dengan siapa,
ya ?” Aku tidak melihat ada nama yang muncul di layar handphoneku.
“Aku
Mas
Wahmi, masing ingatkan ?”
“Oh, Wahmi, Iya…ya.
Maaf sepertinya kemarin saya lupa menyimpan nomormu.”
“Mas
hari ini sibuk ga ?”
“Tidak.Inikan
hari minggu. Ada apa?”
“Kebetulan aku sedang berada di daerah Pancoran, mengantarkan adik. Kalau Mas tidak keberatan aku ingin mampir
ke tempat, Mas.”
“Silakan, silakan…Saya tunggu, ya…”
Aku bergegas
membangunkan Diandra dan menyuruhnya
mandi, sementara aku sendiri menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Tiba-tiba aku ingin memberi kesan yang baik
pada calon tamuku ini. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pelan di
pindu.
“Mana adikmu?” Aku tak melihat ada orang lain selain
dirinya.
“Dia masih di rumah temannya mengerjakan tugas sekolah.” Wahmi
menjelaskan sambil masuk.
“Mana anaknya, Mas? Diandra, ya namanya Diandra, kan?” Aku hanya
mengangguk mengiyakan. “Ini aku bawakan roti bakar untuknya,” lanjutnya.
Diandra yang sudah berdiri di belakangku menerima oleh-oleh yang
dibawakan oleh Wahmi. Setelah mengucapkan terima kasih dengan malu-malu, dia
pun minta izin untuk bermain ke rumah pemilik kontrakan.
“Beginilah keadaanku dan Diandra”
“Maaf, Mas. Sebenarnya apa yang membuat Mas berpisah dengan istri Mas.
Apalagi sudah ada Diandra di antara kalian?”
“Panjang ceritanya, Mi. ringkasnya begini…”
Entah apa penyebabnya, aku begitu percaya menceritakan semua kisah
hidupku pada Wahmi. Bahkan kisah perceraian yang menyakitkan itu.
Dian Reshyani, mama
Diandra, yang meninggalkan aku dan anaknya sendiri karena tidak sanggup hidup
miskin. Karena perusahaan tempat aku bekerja mengalami krisis, aku dan
kawan-kawanku terpaksa memilih berhenti. Situasi ekonomi yang sedang buruk
membuat aku tidak segera mendapatkan tempat kerja yang baru. Keadaan terus
memburuk. sampai-sampai rumah, harta kami yang paling berharga, kami jual untuk memenuhi
kebutuhan hidup.
Dian ternyata tidak cukup tabah menghadapi semua itu. Dia memutuskan
meninggalkan kami berdua.
Obrolan kami baru terhenti saat adik Wahmi menghubunginya dan minta
dijemput. Entah mengapa begitu berat rasanya berpisah dengan Wahmi. Dia seperti
angin segar yang menyejukkan dahagaku akan kehadiran sosok wanita di rumah ini.
Mungkinkah hal yang sama dirasakan oleh Wahmi? Pikiran konyol ini coba
kutepis. Mana mungkin dia tertarik pada seorang duda beranak satu yang baru satu hari dikenalnya.
. Hari sudah
beranjak malam, Diandra sudah tertidur lelap di sampingku. Aku
masih belum bisa memejamkan mata. Bayangan wajah Wahmi tak bisa kuhapus dari
pikiranku.
Handphoneku kembali bordering. Saat melihat nama Wahmi yang muncul, aku
segera mengangkatnya.
“Hallo…Ini dengan Mas Eki ?” Suara
asing yang terdengar.
“Ia,…ini… ini saya sendiri, ini
Ami bukan? ada
apa telpon malam-malam?”
“Bukan. Saya mamanya Ami. Saya
mau mengabarkan , Ami kecelakaan…Di saat-saat akhirnya, saya
mendengar dia menyebut nama Eki, itu sebabnya saya mencari nama Nak Eki di
Hape-nya dan mengabari, Nak Eki”
“Tapi, Bu. Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Maaf, Nak. Kami terlambat mengabarimu. Wahmi sudah tak ada.”
Tak ada kata-kata lagi yang mampu kuucapkan. Sebuah harapan yang baru
saja tumbuh kini dengan begitu saja tercerabut dengan akar-akarnya. Aku
terhempas…
Tema:seorang duda beranak satu yang menaruh hati terhadap seorang wanita yg ber umur 25 tahun tinggi 160 cm dan berparas cantik
BalasHapusTokoh:Wahmi Swantika
HapusEki Dwi Prasetyo
Diandra Eki Prayoga
Alur: alur maju,disaat mulai berbunga2 dan pada endingnya menyedihkan
HapusSeting tempat waktu suasana : Lampu-lampu kota yang berjejer rapi di sepanjang jalan telah menyala, ditambah sinar dari lampu berbagai kendaraan yang berlalu-lalang menambah semaraknya kota. Ratusan orang hilir mudik, puluhan pedagang menawarkan dagangannya. Beginilah potret kehiduan kota jakarta yang ramai dan padat disertai berbagai argumen antara kesenjangan dan harapan.
HapusTak terasa waktu menunjukan pukul 7 malam
Gaya bahasa:Diandra yang sudah berdiri di belakangku menerima oleh-oleh yang dibawakan oleh Wahmi. Setelah mengucapkan terima kasih dengan malu-malu, dia pun minta izin untuk bermain ke rumah pemilik kontrakan.
HapusGaya bahasa:Tak ada kata-kata lagi yang mampu kuucapkan. Sebuah harapan yang baru saja tumbuh kini dengan begitu saja tercerabut dengan akar-akarnya. Aku terhempas…
HapusAmanat:jangan gampang menaruh swbuah harapan terhadap sesuatu yang baru saja di kenal jika tak ingin kamu menyesal saat kemudian hari
HapusNilai sosial:Mba kenapa ada yang bisa saya bantu ?”
Hapus“Ini Mas, kartu e-ticketing busway saya terjatuh entah di mana, aduh, bagaimana ya…”
“Ya sudah, pakai kartu saya saja
Nilai ekonomi:“Di Pancoran. Masih ngontrak. di Pancoran Barat VII di depan SDN Pancoran Pagi 2, Aku tinggal bersama anakku yang masih duduk di bangku kelas 2 SD baru berusia 7 tahun.”
HapusDian Reshyani, mama Diandra, yang meninggalkan aku dan anaknya sendiri karena tidak sanggup hidup miskin. Karena perusahaan tempat aku bekerja mengalami krisis, aku dan kawan-kawanku terpaksa memilih berhenti. Situasi ekonomi yang sedang buruk membuat aku tidak segera mendapatkan tempat kerja yang baru. Keadaan terus memburuk. sampai-sampai rumah, harta kami yang paling berharga, kami jual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dian ternyata tidak cukup tabah menghadapi semua itu. Dia memutuskan meninggalkan kami berdua.
Tema:seorang duda beranak satu yang menaruh hati terhadap seorang wanita yg ber umur 25 tahun tinggi 160 cm dan berparas cantik
BalasHapusTokoh:Wahmi Swantika
BalasHapusEki Dwi Prasetyo
Diandra Eki Prayoga
Alur: alur maju,disaat mulai berbunga2 dan pada endingnya menyedihkan
BalasHapusNilai ekonomi:“Di Pancoran. Masih ngontrak. di Pancoran Barat VII di depan SDN Pancoran Pagi 2, Aku tinggal bersama anakku yang masih duduk di bangku kelas 2 SD baru berusia 7 tahun.”
BalasHapusDian Reshyani, mama Diandra, yang meninggalkan aku dan anaknya sendiri karena tidak sanggup hidup miskin. Karena perusahaan tempat aku bekerja mengalami krisis, aku dan kawan-kawanku terpaksa memilih berhenti. Situasi ekonomi yang sedang buruk membuat aku tidak segera mendapatkan tempat kerja yang baru. Keadaan terus memburuk. sampai-sampai rumah, harta kami yang paling berharga, kami jual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dian ternyata tidak cukup tabah menghadapi semua itu. Dia memutuskan meninggalkan kami berdua.
Seting tempat waktu suasana : Lampu-lampu kota yang berjejer rapi di sepanjang jalan telah menyala, ditambah sinar dari lampu berbagai kendaraan yang berlalu-lalang menambah semaraknya kota. Ratusan orang hilir mudik, puluhan pedagang menawarkan dagangannya. Beginilah potret kehiduan kota jakarta yang ramai dan padat disertai berbagai argumen antara kesenjangan dan harapan.
BalasHapusTak terasa waktu menunjukan pukul 7 malam
Gaya bahasa:Diandra yang sudah berdiri di belakangku menerima oleh-oleh yang dibawakan oleh Wahmi. Setelah mengucapkan terima kasih dengan malu-malu, dia pun minta izin untuk bermain ke rumah pemilik kontrakan.
BalasHapusGaya bahasa:Tak ada kata-kata lagi yang mampu kuucapkan. Sebuah harapan yang baru saja tumbuh kini dengan begitu saja tercerabut dengan akar-akarnya. Aku terhempas…
BalasHapusAmanat:jangan gampang menaruh swbuah harapan terhadap sesuatu yang baru saja di kenal jika tak ingin kamu menyesal saat kemudian hari
BalasHapusNilai sosial:Mba kenapa ada yang bisa saya bantu ?”
BalasHapus“Ini Mas, kartu e-ticketing busway saya terjatuh entah di mana, aduh, bagaimana ya…”
“Ya sudah, pakai kartu saya saja
Nilai ekonomi:“Di Pancoran. Masih ngontrak. di Pancoran Barat VII di depan SDN Pancoran Pagi 2, Aku tinggal bersama anakku yang masih duduk di bangku kelas 2 SD baru berusia 7 tahun.”
BalasHapusDian Reshyani, mama Diandra, yang meninggalkan aku dan anaknya sendiri karena tidak sanggup hidup miskin. Karena perusahaan tempat aku bekerja mengalami krisis, aku dan kawan-kawanku terpaksa memilih berhenti. Situasi ekonomi yang sedang buruk membuat aku tidak segera mendapatkan tempat kerja yang baru. Keadaan terus memburuk. sampai-sampai rumah, harta kami yang paling berharga, kami jual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dian ternyata tidak cukup tabah menghadapi semua itu. Dia memutuskan meninggalkan kami berdua.
Tema:seorang duda beranak satu yang menaruh hati terhadap seorang wanita yg ber umur 25 tahun tinggi 160 cm dan berparas cantik
BalasHapusTokoh:Wahmi Swantika
BalasHapusEki Dwi Prasetyo
Diandra Eki Prayoga
Alur: alur maju,disaat mulai berbunga2 dan pada endingnya menyedihkan
BalasHapusSeting tempat waktu suasana : Lampu-lampu kota yang berjejer rapi di sepanjang jalan telah menyala, ditambah sinar dari lampu berbagai kendaraan yang berlalu-lalang menambah semaraknya kota. Ratusan orang hilir mudik, puluhan pedagang menawarkan dagangannya. Beginilah potret kehiduan kota jakarta yang ramai dan padat disertai berbagai argumen antara kesenjangan dan harapan.
BalasHapusTak terasa waktu menunjukan pukul 7 malam
Gaya bahasa:Diandra yang sudah berdiri di belakangku menerima oleh-oleh yang dibawakan oleh Wahmi. Setelah mengucapkan terima kasih dengan malu-malu, dia pun minta izin untuk bermain ke rumah pemilik kontrakan.
BalasHapusGaya bahasa:Tak ada kata-kata lagi yang mampu kuucapkan. Sebuah harapan yang baru saja tumbuh kini dengan begitu saja tercerabut dengan akar-akarnya. Aku terhempas…
BalasHapusAmanat:jangan gampang menaruh swbuah harapan terhadap sesuatu yang baru saja di kenal jika tak ingin kamu menyesal saat kemudian hari
BalasHapusNilai sosial:Mba kenapa ada yang bisa saya bantu ?”
BalasHapus“Ini Mas, kartu e-ticketing busway saya terjatuh entah di mana, aduh, bagaimana ya…”
“Ya sudah, pakai kartu saya saja
Nilai ekonomi:“Di Pancoran. Masih ngontrak. di Pancoran Barat VII di depan SDN Pancoran Pagi 2, Aku tinggal bersama anakku yang masih duduk di bangku kelas 2 SD baru berusia 7 tahun.”
BalasHapusDian Reshyani, mama Diandra, yang meninggalkan aku dan anaknya sendiri karena tidak sanggup hidup miskin. Karena perusahaan tempat aku bekerja mengalami krisis, aku dan kawan-kawanku terpaksa memilih berhenti. Situasi ekonomi yang sedang buruk membuat aku tidak segera mendapatkan tempat kerja yang baru. Keadaan terus memburuk. sampai-sampai rumah, harta kami yang paling berharga, kami jual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dian ternyata tidak cukup tabah menghadapi semua itu. Dia memutuskan meninggalkan kami berdua.
Sayooonaaaraaaa
BalasHapusTema:seorang duda beranak satu yang menaruh hati terhadap seorang wanita yg ber umur 25 tahun tinggi 160 cm dan berparas cantik
BalasHapusTokoh:Wahmi Swantika
BalasHapusEki Dwi Prasetyo
Diandra Eki Prayoga
Alur: alur maju,disaat mulai berbunga2 dan pada endingnya menyedihkan
BalasHapusSeting tempat waktu suasana : Lampu-lampu kota yang berjejer rapi di sepanjang jalan telah menyala, ditambah sinar dari lampu berbagai kendaraan yang berlalu-lalang menambah semaraknya kota. Ratusan orang hilir mudik, puluhan pedagang menawarkan dagangannya. Beginilah potret kehiduan kota jakarta yang ramai dan padat disertai berbagai argumen antara kesenjangan dan harapan.
BalasHapusTak terasa waktu menunjukan pukul 7 malam
Gaya bahasa:Diandra yang sudah berdiri di belakangku menerima oleh-oleh yang dibawakan oleh Wahmi. Setelah mengucapkan terima kasih dengan malu-malu, dia pun minta izin untuk bermain ke rumah pemilik kontrakan.
BalasHapusGaya bahasa:Tak ada kata-kata lagi yang mampu kuucapkan. Sebuah harapan yang baru saja tumbuh kini dengan begitu saja tercerabut dengan akar-akarnya. Aku terhempas…
BalasHapusAmanat:jangan gampang menaruh swbuah harapan terhadap sesuatu yang baru saja di kenal jika tak ingin kamu menyesal saat kemudian hari
BalasHapusNilai sosial:Mba kenapa ada yang bisa saya bantu ?”
BalasHapus“Ini Mas, kartu e-ticketing busway saya terjatuh entah di mana, aduh, bagaimana ya…”
“Ya sudah, pakai kartu saya saja
Nilai ekonomi:“Di Pancoran. Masih ngontrak. di Pancoran Barat VII di depan SDN Pancoran Pagi 2, Aku tinggal bersama anakku yang masih duduk di bangku kelas 2 SD baru berusia 7 tahun.”
BalasHapusDian Reshyani, mama Diandra, yang meninggalkan aku dan anaknya sendiri karena tidak sanggup hidup miskin. Karena perusahaan tempat aku bekerja mengalami krisis, aku dan kawan-kawanku terpaksa memilih berhenti. Situasi ekonomi yang sedang buruk membuat aku tidak segera mendapatkan tempat kerja yang baru. Keadaan terus memburuk. sampai-sampai rumah, harta kami yang paling berharga, kami jual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dian ternyata tidak cukup tabah menghadapi semua itu. Dia memutuskan meninggalkan kami berdua.
Ok sudah pak!.
BalasHapusTema:seorang duda beranak satu yang menaruh hati terhadap seorang wanita yg ber umur 25 tahun tinggi 160 cm dan berparas cantik
BalasHapusTokoh:Wahmi Swantika
BalasHapusEki Dwi Prasetyo
Diandra Eki Prayoga
Alur: alur maju,disaat mulai berbunga2 dan pada endingnya menyedihkan
BalasHapusSeting tempat waktu suasana : Lampu-lampu kota yang berjejer rapi di sepanjang jalan telah menyala, ditambah sinar dari lampu berbagai kendaraan yang berlalu-lalang menambah semaraknya kota. Ratusan orang hilir mudik, puluhan pedagang menawarkan dagangannya. Beginilah potret kehiduan kota jakarta yang ramai dan padat disertai berbagai argumen antara kesenjangan dan harapan.
BalasHapusTak terasa waktu menunjukan pukul 7 malam
Gaya bahasa:Diandra yang sudah berdiri di belakangku menerima oleh-oleh yang dibawakan oleh Wahmi. Setelah mengucapkan terima kasih dengan malu-malu, dia pun minta izin untuk bermain ke rumah pemilik kontrakan.
BalasHapusGaya bahasa:Tak ada kata-kata lagi yang mampu kuucapkan. Sebuah harapan yang baru saja tumbuh kini dengan begitu saja tercerabut dengan akar-akarnya. Aku terhempas…
BalasHapusAmanat:jangan gampang menaruh swbuah harapan terhadap sesuatu yang baru saja di kenal jika tak ingin kamu menyesal saat kemudian hari
BalasHapusNilai sosial:Mba kenapa ada yang bisa saya bantu ?”
BalasHapus“Ini Mas, kartu e-ticketing busway saya terjatuh entah di mana, aduh, bagaimana ya…”
“Ya sudah, pakai kartu saya saja
Nilai ekonomi:“Di Pancoran. Masih ngontrak. di Pancoran Barat VII di depan SDN Pancoran Pagi 2, Aku tinggal bersama anakku yang masih duduk di bangku kelas 2 SD baru berusia 7 tahun.”
BalasHapusDian Reshyani, mama Diandra, yang meninggalkan aku dan anaknya sendiri karena tidak sanggup hidup miskin. Karena perusahaan tempat aku bekerja mengalami krisis, aku dan kawan-kawanku terpaksa memilih berhenti. Situasi ekonomi yang sedang buruk membuat aku tidak segera mendapatkan tempat kerja yang baru. Keadaan terus memburuk. sampai-sampai rumah, harta kami yang paling berharga, kami jual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dian ternyata tidak cukup tabah menghadapi semua itu. Dia memutuskan meninggalkan kami berdua.